News

Lagu Lama Prabowo Subianto

hancau.net – Lagu lama dinyanyikan kembali, seperti pilpres 2014. Calon presiden Prabowo Subianto kembali menolak hasil pemilihan presiden 2019. Di sisi lain tidak ada penolakan terhadap hasil pemilihan legislatif yang berjalan serentak dengan pilpres. Ambiguitas sikap ini mencerminkan pembelajaran buruk dalam demokrasi.

Memang rasa-rasanya baru kali ini, dan baru pemilihan umum kali ini. Kontestannya melakukan deklarasi kemenangan hingga 5 kali. 3 di antaranya dengan klaim persentase suara yang berbeda-beda padahal metode pengumpulan suaranya sama.

Kita simak perjalanannya

Dimulai sejak 17 April 2019, sekitar pukul 16.00 WIB dan tanpa didampingi calon wakil presidennya yakni, Sandiaga Uno.

Prabowo Subianto melakukan deklarasi dan mengklaim telah melakukan exit poll dan quick count di 5000 TPS dan di Rumah Kertanegara ia mendeklarasikan kemenangannya. Ini adalah deklarasi pertama.

 
“Hasil exit poll kita di 5000 TPS, kita menang dan hasil quick count kita menang 52,2%”
Masih tanggal 17 April, malam sekitar pukul 21.00 WIB kembali jumpa pers di gelar di Rumah Kertanegara dan kembali mendeklarasikan kemenangan. Kali ini angkanya naik dari 52% ke 62% hanya dalam waktu 5 jam. Takbir dan sujud syukur mengiringi deklarasi yang kedua ini. Menurut sumber data diterima menerima lewat SMS para saksi yang ada di 320 ribu TPS.
 
“Hasil real count di posisi lebih dari 320ribu TPS”
Deklarasi lagi tanggal 18 April dan 24 April dan kedua deklarasi ini didampingi oleh cawapresnya yakni, Sandiaga Uno.
Klaim kemenangan ke 5 terjadi pada tanggal 14 Mei 2019. Berdasarkan penghitungan berbasis pada form C1 yang dikumpulkan oleh BPN total di 444.976 TPS sekitar 54,9% dari total TPS yang ada. Kali ini angkanya digunting dari 62% menjadi 54,24%, namun BPN yakin bahwa angkanya akan mendekati 62%.

Analisa

Tanggal 17 April pemungutan suara selesai pada pukul 14.00 WIB. 7 jam kemudian pada pukul 21.00 WIB, BPN sudah bisa mengumpulkan data dari 320 ribu TPS. Sebuah kinerja yang luar biasa.

Kemudian kinerja ini menurun. Hanya menambah 124 ribu TPS jadi total 444.000. Tapi kenapa butuh waktu 1 bulan dari 17 April sampai 14 Mei.

Di sisi lain, klaim kemenangan terakhir mematahkan klaim kemenangan kedua. Persentase suara 62% tidak bisa dibuktikan, malah 54,24 yang memiliki bukti. Hal yang mengejutkan terjadi pada tanggal yang sama 14 Mei 2019. Prabowo akan menolak hasil pemilihan presiden.

“Saya akan menolak hasil perhitungan suara pemilu, hasil perhitungan yang curang”

Akan tetapi belakangan pernyataan ini dijelaskan kembali oleh tim BPN, ternyata bukan hasil pemilu. Tapi hanya hasil pilpres, sementara hasil pileg diterima.

Salah satu alasan penolakan, karena katanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) dinilai tidak wajar. Padahal DPT yang sama juga digunakan dalam pemilihan legislatif.

Namanya juga pemilu serentak, PILEG – PILPRES DPT nya satu. Hasil pileg ini ternyata tidak dipermasalahkan. Ambiguitas atau ketidakjelasan sikap, ketidakbijakan juga diperlihatkan dalam rapat pleno rekapitulasi suara. Dimana Komisioner KPU Wahyu Setiawan telah mengatakan bahwa “Saksi dari paslon capres cawapres nomor urut 2 belum pernah membuka data penghitungan yang mereka miliki di rapat pleno rekapitulasi suara”.

 

 

Narasi Curang Terus Digaungkan

Jika memang ada niat baik, ada kebijaksanaan. Seharusnya paslon membuka data dan membandingkannya dengan data KPU. Mengingat narasi curang terus digaungkan, tapi ternyata tidak ada data yang dibuka dalam pleno rapat rekapitulasi suara.

Saya mengutip dari pernyataannya Abdul Kadir Karding. “Kita minta ke KPU untuk konsisten agar seluruh partai yang menolak hasil pemilu tanpa alasan dan data yang mereka bisa ungkapkan dengan jelas dan terang benderang ini agar caleg-calegnya tidak dilantik”.

Dalam pemilu serentak, pemilunya serentak, penyelenggaranya sama, DPT nya sama, distribusi surat suara sama, saksi sama, proses penghitungan surat suara sama. Logikanya, jika menolak hasil pilpres berarti menolak hasil pileg nya juga.

Tarik semua Caleg DPR, DPRD, berikan kursi yang kosong pada partai lain yang memang menerima hasil pemilu serentak. Itu baru gentle dan tegas, tidak ambigu.

Narasi Hoaks

Jika memutar kembali waktu, lagu lama ini telah digaungkan sejak awal. Semoga anda tidak lupa dengan hebohnya publik terhadap 7 kontainer surat suara di Tanjung Priuk yang sudah tercoblos paslon 01.

Ini beredar pada tanggal 2 Januari, padahal 2 Januari itu KPU mencetak surat suara, kesepakatan dan validasi surat suara yang nantinya akan ditandatangani oleh kedua paslon pada saat itu baru digelar pada 4 Januari, 2 hari ke depan. Artinya isu ini berakhir hoaks.

Kotak suara yang terbuat dari kardus juga pernah dipermasalahkan dan dikaitkan dengan kredibilitas pemilu yang bermasalah, padahal kotak suara ini diatur dalam PKPU. Sebelumnya ada rapat dengar pendapat dengan DPR sebelum PKPU ini lahir dan semua fraksi menyetujui.

Lalu narasi curang yang juga terbukti hoaks adalah surat suara tercoblos nomor urut 01 di kota Medan. Ini sempat viral di media sosial, kemudian dibantah oleh KPU Sumatera Utara. KPU Sumatera Utara menjelaskan bahwa rekaman yang beredar adalah saat pilkada Tapanuli Utara tahun 2019.

Ambiguitas selanjutnya adalah menolak mengajukan gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi, padahal undang-undang pemilu digodok oleh DPR itu sendiri memberi ruang dan mengatur mengenai perselisihan pemilu. Lalu sebetulnya maunya apa?

Sumber: Metro TV

Editor:

Avatar

Hancau Press

Hancau Press merupakan portal informasi dan bagian dari jaringan hancau.net Hancau diambil dari kata dalam bahasa Banjar yang menggambarkan sebuah alat untuk menangkap ikan. Bentuknya mirip tangguk ikan, tetapi lebih besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *