hancau – SD Aing Bantai berlokasi di Desa Aing Bantai, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Sebuah sekolah yang berada jauh di Pedalaman Pegunungan Meratus.
Sekolah tersebut berdiri secara swadaya, demi memfasilitasi anak-anak setempat untuk mendapatkan pendidikan.
Atah (27) seorang guru SD Aing Bantai, setelah lulus SMA (2013), ia mengabdikan diri di desa tersebut.
“Dulunya, saya bersama 2 rekan merintis sebuah sekolah dasar yang diberi nama SD Desa Aing Bantai di sebuah desa yang berada jauh di atas pegunungan Meratus,” ucapnya.
Atah menjelaskan, tujuannya hanya ingin anak-anak didiknya bisa mendapatkan pendidikan lebih tinggi, minimal SMA.
“Syukur-syukur jika mereka bisa kuliah nantinya, agar anak gunung tidak dianggap remeh lagi,” ungkapnya.
Ia mengisahkan, mencapai lokasi sekolah tersebut, perlu sekitar 6 jam berjalan kaki dari Desa Batu Perahu, desa terakhir yang bisa dicapai oleh sepeda motor.
“Kita harus berjalan kaki sekitar 6 jam melewati hutan belantara dan sungai. Apabila terjadi hujan lebat, sungai tersebut pasti meluap airnya. Sehingga perjalanannya akan menjadi 10 jam lebih, karena kita harus menunggu air sungai surut sekitar 4-5 jam,” jelas Atah.
Selain itu, Kami juga harus menyewa seorang porter untuk membawakan barang-barang yang kebanyakannya adalah media pembelajaran untuk para murid. Jasa porter tersebut dihitung dari berat bawaan yang perkilogramnya Rp 12 ribu.
Kemudian, Atah akan tinggal selama sepekan di Desa Aing Bantai untuk mengajar. Sepekan selanjutnya Ia akan pulang ke rumahnya di Desa Batu Perahu secara bergantian dengan 2 rekannya yang lain, Acuk dan Jelita.
Diketahui, selama 8 tahun berjuang, Atah kini mendapatkan upah honorer dari pemerintah daerah sebesar Rp 1,5 juta rupiah per bulan.
Meski demikian, jika dikurangi biaya operasional yang dikeluarkan, hampir tak ada sisa. Karena, untuk perjalanan dalam sebulan, perlu biaya hampir sekitar Rp 1 juta, belum lagi untuk makan, komunikasi, dan keperluan lainnya.
“Beruntungnya, kami diberi beras secara cuma-cuma oleh warga desa,” tuturnya.
Sementara itu, perjuangan anak-anak Desa Aing Bantai yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMP, juga sangatlah luar biasa.
Demi pendidikan, mereka rela meninggalkan sanak keluarga di atas pegunungan Meratus dengan turun dan menetap ke Desa Atiran, kemudian membangun lampau (pondok) dari bambu sebagai tempat tinggal.
Armansyah yang merupakan salah satu anak didik Atah, mengungkapkan bahwa ia ingin sekali lulus SMA agar bisa menjadi pembakal (kepala desa) di desanya. Ia juga berharap mendapat kesetaraan pembangunan meski hidup di pedalaman.
Menurut Atah, pembangunan infrastruktur harus berimbang dengan kecerdasan Sumber Daya Manusia.
“Sumber daya manusianya harus dicerdaskan, agar mereka bisa memajukan dan mengembangkan Desa”, lugas Atah.
Sementara itu, Yayasan Ruang Pelita Kalimantan bekerjasama dengan Kitabisa.com mencoba membantu para guru yang berjuang di Pegunungan Meratus.
Mereka membangun gerakan peduli pendidikan kepada masyarakat luas dalam kanal galang dana online yang bertajuk Bantu Guru Pedalaman Meratus.
Manager Ruang Pelita Kalimantan, Retno Sulisetiyani menuturkan, gerakan tersebut bertujuan mengajak masyarakat luas dapat berpartisipasi membantu perjuangan para guru yang ada di Pegunungan Meratus melalui donasi online.
Artikel Asli: Perjuangan Guru di Pegunungan Meratus HST, Rela Jalan Kaki 6 Jam Demi Mencerdaskan Anak Bangsa