hancau – Kisah Supriyanto, seorang petani (51) dengan senyum yang tipis menunjukkan ketabahan di tengah musibah banjir yang telah menggenangi desanya, Desa Cangkring Pos, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, selama dua pekan penuh.
Meski langit terlihat mendung sejak pagi, Supriyanto tetap meminta bantuan anaknya untuk menyelesaikan pekerjaan meratakan gabah basah yang berwarna cokelat gelap di pelataran penggilingan padi yang ia sewa. Ia sengaja memilih tempat tersebut karena halaman rumahnya masih dalam keadaan lumpur akibat banjir.
Wajahnya yang lesu, ditambah kerutan di dahi dan tatapan mata sendu, mengisyaratkan beban yang ia pikul. Ketika ia memeriksa gabah yang membusuk dan berbau tak sedap, alisnya terangkat ke tengah dalam ekspresi keprihatinan.
Gabah itu sebenarnya berasal dari sawah miliknya yang terendam banjir. Sebelum bencana itu datang, ia sudah berencana untuk panen dalam waktu tiga hari.
“Sudah membusuk, sekitar 15 hari banjir,” ungkapnya kepada Kompas.com di penggilingan padi Desa Cangkring Pos.
Meskipun ia memiliki tiga bidang sawah yang mampu menghasilkan gabah sebanyak 3,5 ton setiap bidang, saat ini ia hanya bisa menyelamatkan satu bidang sawahnya yang sudah membusuk. Untuk memanen satu bidang padi, ia harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 4 juta.
“Diambil kemarin, ini baru sebahu. Ada 3 bahu, ini (sebahu) 3,5 ton,” jelasnya.
Ketika ditanya mengenai jumlah total gabah yang berhasil diselamatkan, ia menyatakan bahwa ada sekitar 10 ton.
Harga gabah saat ini mencapai Rp 830.000 per kwintal. Namun, gabah miliknya yang membusuk ditawar oleh tengkulak hanya seharga Rp 250.000 per kwintal.
Supriyanto hanya bisa pasrah meskipun menyadari bahwa gabah yang membusuk tersebut masih bisa diolah setelah dikeringkan. Namun, ia juga menyadari bahwa harga jualnya akan turun drastis.
“Dijual tidak laku, ya terpaksa diproses. Masih bisa tapi ya patah-patah,” keluhnya.